Minggu, 30 Desember 2007

Harpitnas : Hari Kejepit Nasional

Harpitnas ?
Apa'an tuh?
Bagi yang belum pernah dengar atau pernah dengar tapi mboten ngertos, pasti bingung apakah itu "Harpitnas". Makhluk yang ngleneh ini meupakan singkatan dari "Hari Kejepit Nasional". Harpitnas merupakan istilah yang digunakan di kalangan pelajar Blitar untuk menyebut hari masuk sekolah yang dijepit dengan hari libur. Biasanya sih ikut libur pula. Namun ada istansi sekolah sing bedo dewe tidak libur.
Istlah ini populer di kalangan pelajar di Kabupaten Blitar, tempat tinggal dan belajarku. Nggak 'tau kalo di tempat lain. Mungkin populer mungkin nggak populer bahkan nggak 'tau.
Di sekolahku kemari tanggal senin (24 Desember 2007) libur dalam rangka Harpitnas, sebab hari selasa libur dan minggu pasti libur. Dan rencananya tanggal 31 Desember 2007 juga mau libur, namun tanggal itu adalah hari terakhir membayar uang rekreasi sekolah sehingga tak jadi deh liburnya.
Padahal asyik loh kalo Harpitnas itu libur, jadi liburnya tiga hari.

Read More..

Kamis, 06 Desember 2007

Peringatan Maulid Nabi : Sebuah Kontroversi

Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW merupakan tradisi yang sudah kental dan memasyarakat di kalangan kaum muslim. Bukan cuma di Indonesia, tradisi yang jatuh setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah itu, juga marak diperingati oleh umat Islam berbagai dunia.
Di Indonesia, tradisi ini disahkan oleh negara, sehingga pada hari tersebut dijadikan sebagai hari besar dan hari libur nasional.
As-Suyuti dalam Kitab Husn Al-Maqosid fi Amal Al-Maulud menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan Maulud Nabi adalah Malik Mudzofah Ibnu Batati, penguasa dari negeri Ibbril yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi.
Mudzorofah pernah menghadiahkan sepuluh ribu dinar kepada Syekh Abu Al-Khotib Ibnu Dihyah yang telah berhasil menyusun sebuah buku riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi Maulud Al-Basyir Al-Nazir.
Pada masa Khalifah Abbasyiyah, sekitar abad kedua belas masehi, perayaan Maulud Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan puji-pujian dan uraian Maulud Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.
Dilihat dari sudut pandang hukum syarak ada dua pendapat yang diametral dalam menangani masalah peringatan Maulud Nabi.
Pendapat pertama, yang menentang, mengatakan bahwa Maulud Nabi merupakan bid’ah mazmumah, menyesatkan. Pendapat kedua, yang menerima dan mendukung, beralasan bahwa Maulud Nabi adalah bid’ah mahmudah, inovasi yang baik, dan tidak bertentangan dengan syariat.
Pendapat pertama membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual. Perayaan Maulud Nabi SAW itu tidak ditemukan baiki secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran dan juga Al-Hadis.
Syekh Tajudiin Al-Iskandari, ulama besar berhaluan Malikiyah yang mewakili pendapat pertama, menyatakan Maulud Nabi adalah bid’ah mazmumah, menyesatkan. Penolakan ini ditulisnya dalam Kitab Al-Murid Al-Kalam Ala’amal Al-Maulid.
Pendapat kedua diwakili oleh Ibnu Hajar Al-Atsqolani dan As-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum Maulud Nabi adalah bid’ah mahmudah. Yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, tetapi keberadaannya tidak bertentang dengan ajaran Islam.
Bagi As-Suyuti, keabsahan Maulud Nabi Muhammad SAW bisa dianalogikan dengan diamnya Rasulullah ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.
Maulud Nabi, menurut As-Suyuti, adalah ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi. Penuturan ini dapat dilihat dalam Kitab Al-Ni’mah Al-Kubra Ala Al-Alam fi Maulid Sayyid Wuld Adam.
Terlepas dari polemik di atas, pelaksanaan Maulud Nabi dapat memberikan manfaat kehidupan beragama kaum muslimin secara filosofis, peringatan Maulud Nabi dapat menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah yang kemudian ditunjukkan dengan mengikuti segala sunahnya dan menumbuhkan kesadaran akan beragama menuju kesempurnaan takwa.
Secara sosiologis, dengan asumsi kehidupan manusia di abad ini, dengan kecenderungan bergaya hidup konsumeristik, hidonistik, dan materialistik, punya andil cukup besar terhadap penurunan tingkat kesadaran seseorang, maka peringatan Maulud Nabi menjadi tuntutan religius yang penting.
Kekhawatiran ini tidak terlalu berlebihan bila kita lihat sabda Nabi:
“Pada mulanya Islam itu asing dan akan kembali asing dan akan kembali asing, maka berbahagianlah bagi orang-orang asing, yakni mereka yang telah menghidupkan sunah Nabi, setelah dirusak orang. Orang yang berpegang teguh dengan sunahku ketika terjadi wabah dekadensi moral, pahalanya sama dengan pahala seratus orang yang mati syahid.” (HR. Ibnu Abbas)

Read More..