Vaksin : Penumbuh Kekebalan
Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau "liar". Berasal dari kata vaccinia, penyebab infeksi cacar sapi yang ketika diberikan kepada manusia, akan menimbulkan pengaruh kekebalan terhadap cacar.
Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.).
Imunisasi yang Menumbuhkan Kekebalan
Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu disebut Vaksinasi. Disebut juga Imunisasi karena vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau toksin. Sistem kekebalan mengenali partikel vaksin sebagai agen asing, menghancurkannya, dan "mengingat"-nya. Ketika di kemudian hari agen yang virulen menginfeksi tubuh, sistem kekebalan telah siap:
Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.).
Imunisasi yang Menumbuhkan Kekebalan
Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu disebut Vaksinasi. Disebut juga Imunisasi karena vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau toksin. Sistem kekebalan mengenali partikel vaksin sebagai agen asing, menghancurkannya, dan "mengingat"-nya. Ketika di kemudian hari agen yang virulen menginfeksi tubuh, sistem kekebalan telah siap:
- Menetralkan bahannya sebelum bisa memasuki sel; dan
- Mengenali dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi sebelum agen ini dapat berbiak.
Imunisasi dibedakan dalam dua jenis, imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Pada imunisasi aktif, tubuh ikut berperan dalam membentuk kekebalan (imunitas). Tubuh seseorang dirangsang untuk membangun pertahanan imunologis terhadap kontak alamiah dengan berbagai penyakit. Sedangkan dalam imunisasi pasif, tubuh tidak dengan sendirinya membentuk kekebalan, tetapi diberikan dalam bentuk antibodi dari luar.
Seseorang yang mempunyai risiko terjangkit penyakit tertentu, diberi antibodi yang spesifik. Umumnya bayi dan anak diberi imunisasi aktif karena imunisasi jenis ini memberi kekebalan yang lebih lama. Sedangkan imunisasi pasif hanya diberikan dalam keadaan sangat mendesak, yakni jika tubuh anak diduga belum mempunyai kekebalan ketika terinfeksi oleh kuman penyakit ganas, seperti tetanus.
Tapi tak jarang pula imunisasi aktif dan pasif diberikan dalam waktu bersamaan. Misalnya, seorang anak yang terserang penyakit tertentu akan memperoleh imunisasi pasif untuk segera menetralisir racun kuman yang beredar. Sedangkan imunisasi aktif diberikan juga untuk mendapatkan kekebalan setelah sembuh dari penyakit tersebut.
Kedua jenis imunisasi tersebut juga berbeda dalam segi bahan bakunya. Dalam imunisasi aktif, tubuh diberi sebagian atau seluruh komponen kuman atau suatu bentuk rekayasa kuman sehingga terjadi rangsangan kekebalan tubuh (imunologik) yang menyerupai respon terhadap infeksi alamiah oleh kuman itu. Sedangkan respon dalam tubuh itu sendiri bisa berupa terbentuknya antitoksin (zat anti terhadap racun yang dibuat oleh mikroorganisme) atau bentuk lain yang efeknya menetralisir kuman. Sementara dalam imunisasi pasif, tubuh diberi antibodi spesifik (sudah siap pakai) yang dapat habis dalam tubuhnya.
Beberapa imunisasi dapat membentuk kekebalan tubuh seumur hidup, seperti campak. Namun ada pula bentuk imunisasi yang memberikan kekebalan tubuh dalam jangka waktu tertentu. Misalnya saja, DPT (difteri, pertusis, tetanus) dan polio.
Efektivitas suatu imunisasi aktif dapat diukur dengan memeriksa adanya proteksi terhadap suatu penyakit yang dituju. Pemeriksaan imunoglobin sering dipakai untuk pembuktian terjadinya proteksi terhadap penyakit tertentu. Tetapi bukan merupakan jaminan mutlak, karena pada keadaan tertentu kadar imunoglobin tidak dapat digunakan sebagai patokan terjadinya proteksi.
Pada dasarnya ada vaksin yang dibuat dari kuman yang dilemahkan atau dimatikan. Kuman yang dimatikan ini tidak dapat berkembang biak (replikasi) dalam tubuh manusia, sehingga untuk merangsang pembentukan antibodi diperlukan dalam jumlah banyak. Selain itu, secara berkala dibutuhkan juga pemberian vaksin ulangan untuk memperkuat antibodi.
Jenis-Jenis Imunisasi
Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun). Berikut ini adalah Jenis-jenis imunisasi pada balita :
a. Imunisasi BCG
Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. Vaksin ini mengandung bakteri Bacillus Calmette-Guerrin hidup yang dilemahkan, sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/dosis. Imunisasi BCG dilakukan sekali pada bayi usia 0-11 bulan, lalu DPT diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan interval minimal empat minggu. Imunisasi polio diberikan empat kali pada bayi 0-11 bulan dengan interval minimal empat minggu. Sedangkan campak diberikan satu kali pada bayi usai 9-11 bulan. Terakhir, imunisasi hepatitis B harus diberikan tiga kali pada bayi usia 1-11 bulan, dengan interval minimal empat minggu.
b. Imunisasi DPT
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Pertusis berlangsung selama beberapa minggu dan dapat menyebabkan serangan batuk hebat sehingga anak tidak dapat bernafas, makan atau minum. Pertusis juga dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti pneumonia, kejang dan kerusakan otak. Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan kekakuan pada rahang serta kejang
c. Imunisasi DT
Imunisasi DT memberikan kekebalan aktif terhadap toksin yang dihasilkan oleh kuman penyebab difteri dan tetanus. Vaksin DT dibuat untuk keperluan khusus, misalnya pada anak yang tidak boleh atau tidak perlu menerima imunisasi pertusis, tetapi masih perlu menerima imunisasi difteri dan tetanus. Setiap orang dewasa harus mendapat vaksinasi lengkap tiga dosis seri primer dari difteri dan toksoid tetanus, dengan dua dosis diberikan paling tidak berjarak empat minggu, dan dosis ketiga diberikan enam hingga 12 bulan setelah dosis kedua. Jika orang dewasa belum pernah mendapat imunisasi tetanus dan difteri maka diberikan seri primer diikuti dosis penguat setiap 10 tahun.
d. Imunisasi TT
Imunisasi tetanus (TT, tetanus toksoid) memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tetanus. ATS (Anti Tetanus Serum) juga dapat digunakan untuk pencegahan (imunisasi pasif) maupun pengobatan penyakit tetanus. Jenis imunisasi ini minimal dilakukan lima kali seumur hidup untuk mendapatkan kekebalan penuh. Imunisasi TT yang pertama bisa dilakukan kapan saja, misalnya sewaktu remaja. Lalu TT2 dilakukan sebulan setelah TT1 (dengan perlindungan tiga tahun). Tahap berikutnya adalah TT3, dilakukan enam bulan setelah TT2 (perlindungan enam tahun), kemudian TT4 diberikan satu tahun setelah TT3 (perlindungan 10 tahun), dan TT5 diberikan setahun setelah TT4 (perlindungan 25 tahun).
e. Imunisasi Campak
Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak (tampek). Imunisasi campak diberikan sebanyak 1 dosis pada saat anak berumur 9 bulan atau lebih.
f. Imunisasi MMR
Imunisasi MMR memberi perlindungan terhadap campak, gondongan dan campak Jerman dan disuntikkan sebanyak 2 kali. Campak menyebabkan demam, ruam kulit, batuk, hidung meler dan mata berair. Campak juga menyebabkan infeksi telinga dan pneumonia. Campak juga bisa menyebabkan masalah yang lebih serius, seperti pembengkakan otak dan bahkan kematian. Gondongan menyebabkan demam, sakit kepala dan pembengkakan pada salah satu maupun kedua kelenjar liur utama yang disertai nyeri. Gondongan bisa menyebabkan meningitis (infeksi pada selaput otak dan korda spinalis) dan pembengkakan otak. Kadang gondongan juga menyebabkan pembengkakan pada buah zakar sehingga terjadi kemandulan. Campak Jerman (rubella) menyebabkan demam ringan, ruam kulit dan pembengkakan kelenjar getah bening leher. Rubella juga bisa menyebabkan pembengkakan otak atau gangguan perdarahan.
g. Imunisasi Hib
Imunisasi Hib membantu mencegah infeksi oleh Haemophilus influenza tipe b. Organisme ini bisa menyebabkan meningitis, pneumonia dan infeksi tenggorokan berat yang bisa menyebabkan anak tersedak. Sampai saat ini, imunisasi HiB belum tergolong imunisasi wajib, mengingat harganya yang cukup mahal. Tetapi dari segi manfaat, imunisasi ini cukup penting. Hemophilus influenzae merupakan penyebab terjadinya radang selaput otak (meningitis), terutama pada bayi dan anak usia muda. Penyakit ini sangat berbahaya karena seringkali meninggalkan gejala sisa yang cukup serius. Misalnya kelumpuhan. Ada 2 jenis vaksin yang beredar di Indonesia, yaitu Act Hib dan Pedvax.
h. Imunisasi Varisella
Imunisasi varisella memberikan perlindungan terhadap cacar air. Cacar air ditandai dengan ruam kulit yang membentuk lepuhan, kemudian secara perlahan mengering dan membentuk keropeng yang akan mengelupas.
i. Imunisasi HBV
Imunisasi HBV memberikan kekebalan terhadap hepatitis B. Hepatitis B adalah suatu infeksi hati yang bisa menyebabkan kanker hati dan kematian. Karena itu imunisasi hepatitis B termasuk yang wajib diberikan. Jadwal pemberian imunisasi ini sangat fleksibel, tergantung kesepakatan dokter dan orangtua. Bayi yang baru lahir pun bisa memperolehnya. Imunisasi ini pun biasanya diulang sesuai petunjuk dokter. Orang dewasa yang berisiko tinggi terinfeksi hepatitis B adalah individu yang dalam pekerjaannya kerap terpapar darah atau produk darah, klien dan staf dari institusi pendidikan orang cacat, pasien hemodialisis (cuci darah), orang yang berencana pergi atau tinggal di suatu tempat di mana infeksi hepatitis B sering dijumpai, pengguna obat suntik, homoseksual/biseksual aktif, heteroseksual aktif dengan pasangan berganti-ganti atau baru terkena penyakit menular seksual, fasilitas penampungan korban narkoba, imigran atau pengungsi di mana endemisitas daerah asal sangat tinggi/lumayan. Berikan tiga dosis dengan jadwal 0, 1, dan 6 bulan. Bila setelah imunisasi terdapat respon yang baik maka tidak perlu dilakukan pemberian imunisasi penguat (booster).
j. Imunisasi Pneumokokus Konjugata
Imunisasi pneumokokus konjugata melindungi anak terhadap sejenis bakteri yang sering menyebabkan infeksi telinga. Bakteri ini juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih serius, seperti meningitis dan bakteremia (infeksi darah).
k. Tipa
Imunisasi tipa diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap demam tifoid (tifus atau paratifus). Kekebalan yang didapat bisa bertahan selama 3 sampai 5 tahun. Oleh karena itu perlu diulang kembali. Imunisasi ini dapat diberikan dalam 2 jenis: imunisasi oral berupa kapsul yang diberikan selang sehari selama 3 kali. Biasanya untuk anak yang sudah dapat menelan kapsul. Sedangkan bentuk suntikan diberikan satu kali. Pada imunisasi ini tidak terdapat efek samping.
l. Hepatitis A
Penyakit ini sebenarnya tidak berbahaya dan dapat sembuh dengan sendirinya. Tetapi bila terkena penyakit ini penyembuhannya memerlukan waktu yang lama, yaitu sekitar 1 sampai 2 bulan. Jadwal pemberian yang dianjurkan tak berbeda dengan imunisasi hepatitis B. Vaksin hepatitis A diberikan dua dosis dengan jarak enam hingga 12 bulan pada orang yang berisiko terinfeksi virus ini, seperti penyaji makanan (food handlers), mereka yang sering melakukan perjalanan atau bekerja di suatu negara yang mempunyai prevalensi tinggi hepatitis A, homoseksual, pengguna narkoba, penderita penyakit hati, individu yang bekerja dengan hewan primata terinfeksi hepatitis A atau peneliti virus hepatitis A, dan penderita dengan gangguan faktor pembekuan darah.
Kondisi yang Bukan Halangan untuk Melakukan Imunisasi:
Seseorang yang mempunyai risiko terjangkit penyakit tertentu, diberi antibodi yang spesifik. Umumnya bayi dan anak diberi imunisasi aktif karena imunisasi jenis ini memberi kekebalan yang lebih lama. Sedangkan imunisasi pasif hanya diberikan dalam keadaan sangat mendesak, yakni jika tubuh anak diduga belum mempunyai kekebalan ketika terinfeksi oleh kuman penyakit ganas, seperti tetanus.
Tapi tak jarang pula imunisasi aktif dan pasif diberikan dalam waktu bersamaan. Misalnya, seorang anak yang terserang penyakit tertentu akan memperoleh imunisasi pasif untuk segera menetralisir racun kuman yang beredar. Sedangkan imunisasi aktif diberikan juga untuk mendapatkan kekebalan setelah sembuh dari penyakit tersebut.
Kedua jenis imunisasi tersebut juga berbeda dalam segi bahan bakunya. Dalam imunisasi aktif, tubuh diberi sebagian atau seluruh komponen kuman atau suatu bentuk rekayasa kuman sehingga terjadi rangsangan kekebalan tubuh (imunologik) yang menyerupai respon terhadap infeksi alamiah oleh kuman itu. Sedangkan respon dalam tubuh itu sendiri bisa berupa terbentuknya antitoksin (zat anti terhadap racun yang dibuat oleh mikroorganisme) atau bentuk lain yang efeknya menetralisir kuman. Sementara dalam imunisasi pasif, tubuh diberi antibodi spesifik (sudah siap pakai) yang dapat habis dalam tubuhnya.
Beberapa imunisasi dapat membentuk kekebalan tubuh seumur hidup, seperti campak. Namun ada pula bentuk imunisasi yang memberikan kekebalan tubuh dalam jangka waktu tertentu. Misalnya saja, DPT (difteri, pertusis, tetanus) dan polio.
Efektivitas suatu imunisasi aktif dapat diukur dengan memeriksa adanya proteksi terhadap suatu penyakit yang dituju. Pemeriksaan imunoglobin sering dipakai untuk pembuktian terjadinya proteksi terhadap penyakit tertentu. Tetapi bukan merupakan jaminan mutlak, karena pada keadaan tertentu kadar imunoglobin tidak dapat digunakan sebagai patokan terjadinya proteksi.
Pada dasarnya ada vaksin yang dibuat dari kuman yang dilemahkan atau dimatikan. Kuman yang dimatikan ini tidak dapat berkembang biak (replikasi) dalam tubuh manusia, sehingga untuk merangsang pembentukan antibodi diperlukan dalam jumlah banyak. Selain itu, secara berkala dibutuhkan juga pemberian vaksin ulangan untuk memperkuat antibodi.
Jenis-Jenis Imunisasi
Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun). Berikut ini adalah Jenis-jenis imunisasi pada balita :
a. Imunisasi BCG
Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. Vaksin ini mengandung bakteri Bacillus Calmette-Guerrin hidup yang dilemahkan, sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/dosis. Imunisasi BCG dilakukan sekali pada bayi usia 0-11 bulan, lalu DPT diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan interval minimal empat minggu. Imunisasi polio diberikan empat kali pada bayi 0-11 bulan dengan interval minimal empat minggu. Sedangkan campak diberikan satu kali pada bayi usai 9-11 bulan. Terakhir, imunisasi hepatitis B harus diberikan tiga kali pada bayi usia 1-11 bulan, dengan interval minimal empat minggu.
b. Imunisasi DPT
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Pertusis berlangsung selama beberapa minggu dan dapat menyebabkan serangan batuk hebat sehingga anak tidak dapat bernafas, makan atau minum. Pertusis juga dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti pneumonia, kejang dan kerusakan otak. Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan kekakuan pada rahang serta kejang
c. Imunisasi DT
Imunisasi DT memberikan kekebalan aktif terhadap toksin yang dihasilkan oleh kuman penyebab difteri dan tetanus. Vaksin DT dibuat untuk keperluan khusus, misalnya pada anak yang tidak boleh atau tidak perlu menerima imunisasi pertusis, tetapi masih perlu menerima imunisasi difteri dan tetanus. Setiap orang dewasa harus mendapat vaksinasi lengkap tiga dosis seri primer dari difteri dan toksoid tetanus, dengan dua dosis diberikan paling tidak berjarak empat minggu, dan dosis ketiga diberikan enam hingga 12 bulan setelah dosis kedua. Jika orang dewasa belum pernah mendapat imunisasi tetanus dan difteri maka diberikan seri primer diikuti dosis penguat setiap 10 tahun.
d. Imunisasi TT
Imunisasi tetanus (TT, tetanus toksoid) memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tetanus. ATS (Anti Tetanus Serum) juga dapat digunakan untuk pencegahan (imunisasi pasif) maupun pengobatan penyakit tetanus. Jenis imunisasi ini minimal dilakukan lima kali seumur hidup untuk mendapatkan kekebalan penuh. Imunisasi TT yang pertama bisa dilakukan kapan saja, misalnya sewaktu remaja. Lalu TT2 dilakukan sebulan setelah TT1 (dengan perlindungan tiga tahun). Tahap berikutnya adalah TT3, dilakukan enam bulan setelah TT2 (perlindungan enam tahun), kemudian TT4 diberikan satu tahun setelah TT3 (perlindungan 10 tahun), dan TT5 diberikan setahun setelah TT4 (perlindungan 25 tahun).
e. Imunisasi Campak
Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak (tampek). Imunisasi campak diberikan sebanyak 1 dosis pada saat anak berumur 9 bulan atau lebih.
f. Imunisasi MMR
Imunisasi MMR memberi perlindungan terhadap campak, gondongan dan campak Jerman dan disuntikkan sebanyak 2 kali. Campak menyebabkan demam, ruam kulit, batuk, hidung meler dan mata berair. Campak juga menyebabkan infeksi telinga dan pneumonia. Campak juga bisa menyebabkan masalah yang lebih serius, seperti pembengkakan otak dan bahkan kematian. Gondongan menyebabkan demam, sakit kepala dan pembengkakan pada salah satu maupun kedua kelenjar liur utama yang disertai nyeri. Gondongan bisa menyebabkan meningitis (infeksi pada selaput otak dan korda spinalis) dan pembengkakan otak. Kadang gondongan juga menyebabkan pembengkakan pada buah zakar sehingga terjadi kemandulan. Campak Jerman (rubella) menyebabkan demam ringan, ruam kulit dan pembengkakan kelenjar getah bening leher. Rubella juga bisa menyebabkan pembengkakan otak atau gangguan perdarahan.
g. Imunisasi Hib
Imunisasi Hib membantu mencegah infeksi oleh Haemophilus influenza tipe b. Organisme ini bisa menyebabkan meningitis, pneumonia dan infeksi tenggorokan berat yang bisa menyebabkan anak tersedak. Sampai saat ini, imunisasi HiB belum tergolong imunisasi wajib, mengingat harganya yang cukup mahal. Tetapi dari segi manfaat, imunisasi ini cukup penting. Hemophilus influenzae merupakan penyebab terjadinya radang selaput otak (meningitis), terutama pada bayi dan anak usia muda. Penyakit ini sangat berbahaya karena seringkali meninggalkan gejala sisa yang cukup serius. Misalnya kelumpuhan. Ada 2 jenis vaksin yang beredar di Indonesia, yaitu Act Hib dan Pedvax.
h. Imunisasi Varisella
Imunisasi varisella memberikan perlindungan terhadap cacar air. Cacar air ditandai dengan ruam kulit yang membentuk lepuhan, kemudian secara perlahan mengering dan membentuk keropeng yang akan mengelupas.
i. Imunisasi HBV
Imunisasi HBV memberikan kekebalan terhadap hepatitis B. Hepatitis B adalah suatu infeksi hati yang bisa menyebabkan kanker hati dan kematian. Karena itu imunisasi hepatitis B termasuk yang wajib diberikan. Jadwal pemberian imunisasi ini sangat fleksibel, tergantung kesepakatan dokter dan orangtua. Bayi yang baru lahir pun bisa memperolehnya. Imunisasi ini pun biasanya diulang sesuai petunjuk dokter. Orang dewasa yang berisiko tinggi terinfeksi hepatitis B adalah individu yang dalam pekerjaannya kerap terpapar darah atau produk darah, klien dan staf dari institusi pendidikan orang cacat, pasien hemodialisis (cuci darah), orang yang berencana pergi atau tinggal di suatu tempat di mana infeksi hepatitis B sering dijumpai, pengguna obat suntik, homoseksual/biseksual aktif, heteroseksual aktif dengan pasangan berganti-ganti atau baru terkena penyakit menular seksual, fasilitas penampungan korban narkoba, imigran atau pengungsi di mana endemisitas daerah asal sangat tinggi/lumayan. Berikan tiga dosis dengan jadwal 0, 1, dan 6 bulan. Bila setelah imunisasi terdapat respon yang baik maka tidak perlu dilakukan pemberian imunisasi penguat (booster).
j. Imunisasi Pneumokokus Konjugata
Imunisasi pneumokokus konjugata melindungi anak terhadap sejenis bakteri yang sering menyebabkan infeksi telinga. Bakteri ini juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih serius, seperti meningitis dan bakteremia (infeksi darah).
k. Tipa
Imunisasi tipa diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap demam tifoid (tifus atau paratifus). Kekebalan yang didapat bisa bertahan selama 3 sampai 5 tahun. Oleh karena itu perlu diulang kembali. Imunisasi ini dapat diberikan dalam 2 jenis: imunisasi oral berupa kapsul yang diberikan selang sehari selama 3 kali. Biasanya untuk anak yang sudah dapat menelan kapsul. Sedangkan bentuk suntikan diberikan satu kali. Pada imunisasi ini tidak terdapat efek samping.
l. Hepatitis A
Penyakit ini sebenarnya tidak berbahaya dan dapat sembuh dengan sendirinya. Tetapi bila terkena penyakit ini penyembuhannya memerlukan waktu yang lama, yaitu sekitar 1 sampai 2 bulan. Jadwal pemberian yang dianjurkan tak berbeda dengan imunisasi hepatitis B. Vaksin hepatitis A diberikan dua dosis dengan jarak enam hingga 12 bulan pada orang yang berisiko terinfeksi virus ini, seperti penyaji makanan (food handlers), mereka yang sering melakukan perjalanan atau bekerja di suatu negara yang mempunyai prevalensi tinggi hepatitis A, homoseksual, pengguna narkoba, penderita penyakit hati, individu yang bekerja dengan hewan primata terinfeksi hepatitis A atau peneliti virus hepatitis A, dan penderita dengan gangguan faktor pembekuan darah.
Kondisi yang Bukan Halangan untuk Melakukan Imunisasi:
- Gangguan saluran napas atas atau gangguan salurancerna ringan
- Riwayat efek samping imunisasi dalam keluarga.
- Riwayat kejang dalam keluarga.
- Riwayat kejang demam
- Riwayat penyakit infeksi terdahulu
- Kontak dengan penderita suatu penyakit infeksi
- Kelainan saraf menetap seperti palsi serebralsindrom Down
- Eksim dan kelainan lokal di kulit
- Penyakit kronis (jantung, paru, penyakit metabolik)
- Terapi antibiotika; terapi steroid topikal (terapi lokal, kulit, mata)
- Riwayat kuning pada masa neonatus atau beberapa hari setelah lahir
- Berat lahir rendah
- Ibu si anak sedang hamil
- Usia anak melebihi usia rekomendasi imunisasi
Kondisi Dimana Imunisasi Tidak Dapat Diberikan atau Imunisasi Boleh Ditunda:
- Sakit berat dan akut; Demam tinggi;
- Reaksi alergi yang berat atau reaksi anafilaktik;
- Bila anak menderita gangguan sistem imun berat (sedang menjalani terapi steroid jangka lama, HIV) tidak boleh diberi vaksin hidup (Polio Oral, MMR, BCG, Cacar Air).
- Alergi terhadap telur, hindari imunisasi influenza
Jadwal Imunisasi
Berikut ini adalah jadwal imunisasi anak rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Periode 2004 (revisi September 2003):
Keterangan jadwal imnisasi rekomendasi IDAI :
- Saat Lahir - Hepatitis B-1 HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. Polio-0 Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain)
- 1 Bulan - Hepatitis B-2 Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.
- 0-2 Bulan - BCG BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur > 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
- 2 Bulan - DTP-1 DTP-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwp atau DTap. DTP-1 diberikan secara kombinasi dengan Hib-1 (PRP-T). Hib-1 Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1 dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-1. Polio-1 Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1
- 4 Bulan - DTP-2 DTP-2 (DTwp atau DTap) dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T). Hib-2 Hib-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-2. Polio-2 Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2
- 6 Bulan - DTP-3 DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T). Hib-3 Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan. Polio-3 Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3. Hepatitis B-3 HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapatkan respons imun optimal, interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
- 9 Bulan - Campak-1 Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapatkan MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu diberikan.
- 15-18 Bulan - MMR Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan. Hib-4 Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).
- 18 Bulan - DTP-4 DTP-4 (DTwp atau DTap) diberikan 1 tahun setelah DTP-3. Polio-4 Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4.
- 2 Tahun - Hepatitis A Vaksin HepA direkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan.
- 2-3 Tahun - Tifoid Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur > 2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun.
- 5 Tahun - DTP-5 DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DTap). Polio-5 Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5.
- 6 Tahun - MMR Diberikan untuk catch-up immunization pada anak yang belum mendapatkan MMR-1.
- 10 Tahun - DT/TT Menjelang pubertas, vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapatkan imunitas selama 25 tahun. Varisela Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar