Kamis, 06 Desember 2007

Peringatan Maulid Nabi : Sebuah Kontroversi

Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW merupakan tradisi yang sudah kental dan memasyarakat di kalangan kaum muslim. Bukan cuma di Indonesia, tradisi yang jatuh setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah itu, juga marak diperingati oleh umat Islam berbagai dunia.
Di Indonesia, tradisi ini disahkan oleh negara, sehingga pada hari tersebut dijadikan sebagai hari besar dan hari libur nasional.
As-Suyuti dalam Kitab Husn Al-Maqosid fi Amal Al-Maulud menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan Maulud Nabi adalah Malik Mudzofah Ibnu Batati, penguasa dari negeri Ibbril yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi.
Mudzorofah pernah menghadiahkan sepuluh ribu dinar kepada Syekh Abu Al-Khotib Ibnu Dihyah yang telah berhasil menyusun sebuah buku riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi Maulud Al-Basyir Al-Nazir.
Pada masa Khalifah Abbasyiyah, sekitar abad kedua belas masehi, perayaan Maulud Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan puji-pujian dan uraian Maulud Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.
Dilihat dari sudut pandang hukum syarak ada dua pendapat yang diametral dalam menangani masalah peringatan Maulud Nabi.
Pendapat pertama, yang menentang, mengatakan bahwa Maulud Nabi merupakan bid’ah mazmumah, menyesatkan. Pendapat kedua, yang menerima dan mendukung, beralasan bahwa Maulud Nabi adalah bid’ah mahmudah, inovasi yang baik, dan tidak bertentangan dengan syariat.
Pendapat pertama membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual. Perayaan Maulud Nabi SAW itu tidak ditemukan baiki secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran dan juga Al-Hadis.
Syekh Tajudiin Al-Iskandari, ulama besar berhaluan Malikiyah yang mewakili pendapat pertama, menyatakan Maulud Nabi adalah bid’ah mazmumah, menyesatkan. Penolakan ini ditulisnya dalam Kitab Al-Murid Al-Kalam Ala’amal Al-Maulid.
Pendapat kedua diwakili oleh Ibnu Hajar Al-Atsqolani dan As-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum Maulud Nabi adalah bid’ah mahmudah. Yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, tetapi keberadaannya tidak bertentang dengan ajaran Islam.
Bagi As-Suyuti, keabsahan Maulud Nabi Muhammad SAW bisa dianalogikan dengan diamnya Rasulullah ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.
Maulud Nabi, menurut As-Suyuti, adalah ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi. Penuturan ini dapat dilihat dalam Kitab Al-Ni’mah Al-Kubra Ala Al-Alam fi Maulid Sayyid Wuld Adam.
Terlepas dari polemik di atas, pelaksanaan Maulud Nabi dapat memberikan manfaat kehidupan beragama kaum muslimin secara filosofis, peringatan Maulud Nabi dapat menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah yang kemudian ditunjukkan dengan mengikuti segala sunahnya dan menumbuhkan kesadaran akan beragama menuju kesempurnaan takwa.
Secara sosiologis, dengan asumsi kehidupan manusia di abad ini, dengan kecenderungan bergaya hidup konsumeristik, hidonistik, dan materialistik, punya andil cukup besar terhadap penurunan tingkat kesadaran seseorang, maka peringatan Maulud Nabi menjadi tuntutan religius yang penting.
Kekhawatiran ini tidak terlalu berlebihan bila kita lihat sabda Nabi:
“Pada mulanya Islam itu asing dan akan kembali asing dan akan kembali asing, maka berbahagianlah bagi orang-orang asing, yakni mereka yang telah menghidupkan sunah Nabi, setelah dirusak orang. Orang yang berpegang teguh dengan sunahku ketika terjadi wabah dekadensi moral, pahalanya sama dengan pahala seratus orang yang mati syahid.” (HR. Ibnu Abbas)

6 komentar:

setiawan86 mengatakan...

Stlah mngcapkn puji2n kpd ALLAH & shlwat srta salam ats Nabi Muhammad,sy brkmentr: "bhw kt smua tntux brsykur kpd ALLAH yg tlah mnjdikn kt sbg pmeluk Agama Islam yg tlah dsmpurnakn olehNya dg sgla kmudahn yg ada d dlmny..mk singkt kta,mngpa stlah smua kmudahn ini,lalu kt mmprsulit dri dg mngdakn suatu prayaan yg tdk sdkit mmbuat sbgian kaum muslimin yg trhimpit keadaan eknomix rela brhutang demi mrayaknx,pdhl dg tdk mrayaknx pun kt tdk dbebankn dosa oleh ALLAH..

Bayu Aditya H mengatakan...

Saya setuju dengan pendapat Anda, bahwa seharusnya kita meningkatkan taqwa kita terhadap Allah, bukannya justru membuat perayaan yang justru memberatkan bagi kaum yang terhimpit pereknomiannya.

Anonim mengatakan...

harta tak seberapa untk mengenang dan meningkatkan spirit kerasulan dan keislaman kita dari budaya hedonisme sy kira tidak membuat kita akn jatuh miskin, semoga kita tidak termasuk orang yang bakhil untuk pribadi yang kita cintai. dan royal untuk ultah diri kita sendiri. amin
zahrulazhar235.blogspot.com

edo mengatakan...

Utk mengenalkan & mengetahui lebih jauh ttg syapa Rasulullah saw kpd umat Islam tdklh cukup hanya dgn memperingati Maulidnya saja. Mulai dr masy desa sampai kota, si miskin sampai si kaya, tua muda sibuk berMaulid ria, kalo pun pekerjaan itu tidak salah, lalu apa yg didapatkan stlh perhelatan usai ? bahkan tidak jarang lebih banyak mudharatnya. Mari, kita semua, apapun profesi kita, memperkenalkan sosok Rasulullah saw dengan kepribadian kita saat berinteraksi pd sesama bgt jg saat berinteraksi kepadaNya. Untuk anak2, mr kt sempatkan membacakan Sirah Nabawiah, sehingga kecintaannya tumbuh sejak dini. Ini pun kalo setuju....

HABIBI mengatakan...

Apakah salah membaca doa sholawat dan meriwayakannya
Apakah salah bertutur tentang kehidupan nabi kita
Apakah salah mengenal silsilah keturunannya
Apakah salah mengenal suri teladan kita
http://hsssnwwwayyya58.blogspot.com/2012/11/tabligh-mauli-maulid-nabi.html

MIS RANCAPAKU 2 mengatakan...

Untuk kemaslahata ummat, apanya yg salah. Hari ini justru sangatlah penting membumikan nilai2 keislaman, disaat ummat terdegradasi moralnya.