Kamis, 13 September 2007

Pagi yang Indah

Pagi-pagi sekali. Matahari saja masih malu-malu untuk menampakan hidungnya (memangnya matahari punya hidung?). Jam kaleng bulat dengan topi bulat di atas kiri dan kanan saja belum bangun, hanya terdengar bunyi tak… tik… tuk. Di atas tempat tidur nan empuk, wuu, terlihat sesosok manusia tertidur pulas. Rambut dan bajunya berantakan, mulutnya menganga, liurnya keluar, sehingga tercipta pulau-pulau nan bau di atas bantalnya. Kaki di atas selimut yang menutupi bantal dengan kepala di ranjang sebelah bawah. Jam kaleng menyorot jam empat lebih lima puluh sembilan pagi.
Satu menit berlalu. Tiba-tiba, “Kriiiiiiing…….!!!”. Jam lima tepat. Bunyinya kemana-mana. Bahkan ayam betina yang ada di belakang rumah saja sempat histeris sewaktu pertama kali mendengar bunyi ramai itu.
Gedubrak! Eh, bunyi apa tuh? Ya ampun, si manusia terjatuh dari ranjang dengan kepala terlebih dahulu. Kelihatannya benjol.
“Suara apa itu?” terdengar suara dari dapur di luar kamar.
“Selimut jatuh!” kata si kepala benjol.
“Kok keras?”
“Saya ada di dalamnya!!”
Jam lima lebih seperempat pagi. Matahari sudah tidak malu-malu lagi bersinar karena sudah jam tugasnya. Dia sorotkan sinarnya ke bumi kuat-kuat biar terang. Sekarang si kepala benjol membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Biar udara bisa bertukar. Biar udara pagi yang sejuk bisa masuk kamar. Nanti akan dihirup banyak-banyak. Ah… segar sekali.
Dia melihat burung-burung yang melesat di udara. “Dan saya harus secepatnya melesat ke kamar mandi… “
Eh, tunggu dulu. Bukankah si kepala benjol kepalanya benjol? Tapi kok dia cuek bebek? Malah bersiul-siul melenggang ke kamar mandi? Tapi pa yang terjadi setelah dirinya masuk ke kamar mandi dan menutup pintu.
“Adaaaoooooooo… kepalaku, sakiiiiiit!!!” si kepala benjol meraung keras.
“Eh, ngapain kamu teriak-teriak?” terdengar lagi suara dari dapur di luar kamar mandi.
“Nggak ngapa-ngapain. Cuma latihan teriak!!!” jawabnya kencang.
Hihihi ternyata dia malu ‘kali kepada ibunya yang ada di dapur kalau jatuh dari tempat tidur. Jadi teriaknya setelah keluar kamar.
Byur, byur, byur! Terdengar suara jebar-jebur dari kamar mandi. Semangat. Mandi memang perlu semangat. Airnya terlempar ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Sampai-sampai baju yang ada di gantungan baju saja basah.
“Wah! Bajuku basah,” katanya setelah mandi. Walau begitu tetap saja dipakai.
Sekarang si kepala benjol menuju ke kamarnya.
Mau tahu siapakah si kepala benjol? Kita lihat seminggu yang lalu ketika si kepala benjol terlambat datang ke sekolah.
“Siapa namamu?” tanya guru piket.
“Cipan, pak!” oh ternyata namanya Cipan.
“Kenapa kamu terlambat?”
“Anu, bisnya jual mahal, tidak mau berhenti di perempatan, pak!”
“Dimana kamu mencegat bis?”
“Di pertigaan, pak!”
“Tentu saja tidak berhenti, tidak ada yang mencegat. Ini surat masuknya setelah tanda tangan, cepat pergi ke kelas!!”
Kata dia, gampang kok mengenalinya. Bila kamu jalan-jalan, kemudian bertemu remaja bertubuh kurus dan rada tinggi dan kamu tanya namanya, dia menjawab “Cipan”, nah berarti dia itu Cipan.
Ya, dia itu anak yang jujur. Tidak pernah mengaku Caca, Cucu, ataupun Coco. Dia cukup bangga kok dengan namanya yang hanya secomot itu. “Nama esklusif. Tidak ada bandingannya,” katanya suatu hari.
Dia cukup ngetop, loh! Serius. Kalau kamu kebetulan manpir di rumahnya dan menyebut namanya, pasti orang serumah pada tahu semua. Itu ‘kan membuktikan bahwa dia cukup ngetop. Setidaknya, ya… diantara orang seisi rumahnya.

*****

Jam setengah tujuh pagi,jalanan mulai nggak sepi. Seperti hari-hari sebelumnya, setelah pergi dari rumah berpakaian seragam silat, eh ngaco maksudnya sulap, hihi, maksudnya seragam sekolah abu-abu putih, dia berbengong ria di pertigaan ujung jalan. Bis-bis pada jam seperti itu biasanya sarat penumpang. Dan kalau begitu, bis-bis itu pada jual mahal semua. Mereka terlalu gengsi untuk sekedar berhenti di pertigaan itu guna menjemput Cipan. Walhasil, Cipan sering kedapatan berlarian mengejar bis yang berhenti agak jauh dari situ. Juga sering kedapatan berlarian di trotoar depan sekolahnya karena nyaris terlambat menjangkahkan kakinya di gerbang sekolah.
Bis yang ditunggu muncul. Maka seperti TKI yang lain, Cipan dengan semangat pahlawan kesianagn turut berpartisipasi membudayakan lari dalam rangka mengejar bis menuju sekolah. Lumayan Cipan bisa manyusup ke dalam, berdesakan dengan seorang gadis berwajah manis berseragam sekolah. Dan ini salah satu-satunya nikmat yang di berikan Tuhan kepada orang-orang seperti Cipan. Hanya pada saat itu Cipan berani menyentuh cewek.
Bis berbelok di tikungan, penumpang miring ke kanan. Kesempatan itu digunakan Cipan memulai berkomunikasi dengan cewek itu. Dia menginjak kaki cewek itu. Walau kata orang banyak cara memulai komunikasi tapi cara itu yang digunakan oleh Cipan.
“Eh, maaf ya. Nggak sengaja. Abis bisnya goyang-goyang, sih. Sakit ya?”. Ekspresi Cipan benar-benar sempurna menunjukkan rasa penyesalan. Pintar dia, sebab ikut ektra teater, kok.
“Nggak. Nggak sakit. Injak saja terus!” sahut cewek itu dingin. Cipan kaget berkat sandiwaranya yang kurang sempurna, dia sampai lupa mengangkat kakinya yang menginjak kaki cewek itu.
“Eh, kamu marah, ya?” wajah Cipan penuh penyesalan. Kali ini serius.
Gadis itu tersenyum. Ya Tuhan, ini kesempatan baik.
“Nama kamu siapa?” tanya Cipan setelah beberapa saat membisu. Gadis itu sedikit heran mendengar pertanyaan yang rada aneh itu. Beberapa saat dia Cuma memandang Cipan. Cipan jadi salah sendiri. “Dosa apa nanya begitu?” pikir Cipan.
“Saya Tanti. Kamu siapa?” sahutnya balik bertanya.
“Saya Cipan,” jawab Cipan sambil mengulurkan tangan.
Dan bisa ditebak. Untuk seterusnya mereka ngomong soal cuaca, sekolah, sinetron, film, musik, dan makanan favorit.
Di Ngajar seseorang turun. Meninggalkan bangku kosong yang langsung diduduki oleh Tanti. Cipan langsung menitipkan tasnya yang besar, karena berisi baju olahraga karena nanti ada pelajaran penjaskes di sekolahnya, dan beberapa buku yang tidak termuat di dalamnya kepada Tanti. Obrolan dilanjutkan kembali.
Dia terus mengobrol sampai kelupaan turun. “Udah ya, Tan!”. Akhirnya dengan tergesa-gesa, Cipan menerobos desakan penumpang untuk segera melompat ke pintu bis. “Kiri! Kiri! Mas!” teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Sang kondektur memandang sewot ke arahnya. “Sialan! Bukan dari tadi bilangnya!”.
Cipan melompat turun sambil meledek kondektur yang marah-marah. Lalu jalan menelusuri trotoar. Dia merasa ada sesuatu yang kurang. Apa ya? Ya astaga, tas dan bukunya tertinggal di bis! Cipan langsung balik hendak mengejar bis itu, tapi yang tertinggal hanya kepulan debu dan derunya. Cipan habis memaki-maki.
Menyesal dia, kenapa dia tadi nitip kepada cewek itu. Wah, rasanya ingin berteriak keras-keras. Menumpahkan kekesalan yang membludak di hatinya. Tapi situasi tidak mengizinkan. Banyak anak yang lagi jalan.
“Hei… Cipan!!!” dari kejauhan terdengar suara cewek yang memanggil. Cipan segera menoleh. Eh, itu Tanti sambil mengacung-acungkan tas dan buku Cipan.
“Kamu lupa bawa ini, ya?” teriaknya lagi.
Wajah mendung Cipan berubah menjadi cerah. “Loh, Tanti ‘kan harusnya turun di Srireja, kok dia bela-belain bawa barang-barang itu, sih?” pikirnya.
“Wah, makasih banget ya, Tan!” sahut Cipan sambil menghampiri Tanti.
Akhirnya, Cipan dengan setia menemani Tanti menunggu bis yang lewat berikutnya.
Sekarang jam dinding di dinding salah satu rumah di tepi jalan tempat Cipan dan Tanti menunggu bis menunjukkan jam tujuh tepat. Bel sekolah berdering di kejauhan. Tapi Cipan tidak peduli. Malah dia bersyukur bila bis yang berikutnya tidak datang.
Namun ternyata bis berikutnya datang. Tanti naik bis itu dan Cipan tanpa dikomando langsung berlari ke sekolah.
Pintu gerbang sekolah sudah tertutup. Jam bulat di pergelangan tangan kanan Cipan menyorot jam tujuh lebih seperempat. Cipan mencoba memanjat gerbang sekolah.
Namun sayang, dia terlihat oleh satpam dan langsung digelandang kayak maling ayam menuju ruang guru.
Cipan bertemu dengan guru piket.
“Cipan, kenapa kamu terlambat lagi?” tanya guru piket.
“Anu, seperti biasa, pak!!” ujar Cipan sambil cengar-cengir.

Tidak ada komentar: