Hutang
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kadang seseorang memerlukan berhutang kepada orang lain, baik berupa barang atau uang. Berhutang itu hukumnya mubah (boleh) dan tidak termasuk meminta-minta yang dicela oleh agama. Karena yang berhutang akan mengembalikan pada hari yang lain. Sedangkan berpiutang atau memberikan hutang kepada orang lain hukumnya sunah, jika diminta yang membutuhkannya. Karena dianjurkan oleh agama. Bahkan dapat juga menjadi wajib bila yang berhutang sangat terdesak dan membutuhkan. Islam sangat memerintahkan agar suka menolong orang yang membutuhkan.
Oleh karena dititikberatkan untuk memberikan pertolongan, maka utang-piutang menurut ajaran Islam tidak dibenarkan jika memberatkan pihak yang berhutang, seperti tidak memberikan kelonggaran kepada orang yang berhutang karena berhalangan mengembalikannya pada waktu yang telah ditentukan. Begitu pula tidak dibenarkan mengadakan perjanjian agar memberikan bunga sewaktu mengembalikan atau meminta tambahan bila yang berhutang terlambat melunasinya pada waktunya. Sebab yang demikian termasuk penindasan, di mana yang lapang mencari kesempatan di saat orang lain mengalami kesempitan. Tidaklah pantas bila orang yang mampu menolong orang lain, mengambil keuntungan dari orang yang memerlukannya.
Sementara itu orang yang berhutang wajib membayar hutangnya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, kecuali jika memang benar-benar belum mampu. Dalam hal ini hendaknya meminta maaf kepada orang berpiutang kepadanya. Akan tetapi bila mampu tidak diperkenankan menunda-nunda pembayaran hutang, sebab yang demikian termasuk kezaliman. Rasullah bersabda :“Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu melunasinya, adalah suatu kezaliman.” (HR. Bukhari Muslim)
Adapun memberi tambahan dalam pembayaran hutang diperkenankan asal tidak diisyaratkan sebelumnya. Jadi, atas kehendak yang berhutang. Hal itu sesuai dengan sabda Nabi :“Yang terbaik di antara kamu ialah yang paling baik dalam pembayaran hutang.” (HR. Bukhari Muslim)
Untuk menjaga agar tidak terjadi perselisihan dalam utang-piutang, maka pencatatan sangat diperlukan. Apalagi jika utang-piutang itu meliputi jumlah yang banyak. Dalam hal ini perjanjian utang-piutang sangat diperlukan, lengkap dengan sanksi-sanksinya. Hal itu sesuai dengan firman Allah :“Wahai orang-orang yang berimanjika kamu berhutang-piutang tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah:282)
Memberikan barang sebagai jaminan hutang diperkenankan dalam agama dengan ketentuan bila pada waktu yang telah ditentuka, pelunasan hutang tidak dapat dilakukan oleh yang berhutang, maka barang jaminan tersebut dapat dijual, untuk melunasinya. Tentu saja dengan harga yang wajar. Dan jika ternyata nilai barang tersebut lebih besar dari hutang, maka kelebihannya haris dikembalikan kepada orang yang berhutang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar