Sabtu, 28 Maret 2009

Perjuangan (Cerpen)

Tampak sesosok tubuh tak berdaya bersimbah darah. Kaki patah. Tangan terkilir. Napasnya tersengal. Pandangannya buram. Dia tidak dapat merasakan tubuhnya. Mungkin ini adalah akhir dari hidupnya. Di sekelilingnya tampak pepohonan lebat dengan batang-batang besar yang menyeramkan. Dia sendirian. Tak ada satu manusiapun yang ada di sekitarnya. Hanya ada burung-burung berkicauan yang tidak mempedulikan keadaan manusia itu. Tak jauh dari sana, sebuah tebing tinggi berkabut membatasi pandangannya.
"Aku harus bertahan hidup!" batinnya.
***
Dua hari sebelumnya.
"Bu, aku pamit ke Gunung Utara."
"Hati-hati, nak. Jaga Dirimu."
"Iya, bu."
Hari masih pagi. Namun Cipan, cowok ceking berambut jabrik, dengan langkah pasti pergi ke sekolah. Hari ini adalah liburan sekolah. Pencinta alam sekolahnya mengadakan pendakian ke Gunung Utara, jaraknya sekitar lima puluh kilometer ke utara dari sekolahnya. Gunung Utara adalah gunung yang menjadi favorit pendakian. Selain karena keindahan alamnya, tapi juga karena jalur pendakiannya yang menantang. Ada sekitar lima jalur pendakian resmi di Gunung Utara. Satu jalur dari barat gunung, dua jalur dari utara gunung dan tiga jalur dari timur gunung. Namun, saat ini Cipan dan teman-teman pencinta alam akan membuka jalur baru dari arah selatan gunung. jalur ini di harapkan mempermudah pendakian bagi pendaki dari kawasan selatan gunung.
***
Di sekolah, sudah terlihat beberapa anak yang sudah datang. Ada yang duduk-duduk di teras kelas, ada yang 'nonkrong di kantin sekolah, dan ada yang memeriksa, mendata, serta menaikkan perlengkapan yang akan dibawa pendakian ke truk yang akan membawa mereka ke Gunung Utara.
Sekolah Cipan terletak di tepi jalan raya. Cukup ramai memang, apalagi bila ada demonstrasi yang lewat depan sekolah Cipan. Di di sini ditanam bermacam-macam pohon yang menjadi peneduh halaman , warisan kepala sekolah pendahulu. Dulu sekolah Cipan, beberapa tahun sebelum Cipan masuk, sangat gersang, maksudnya tidak ada pohon peneduh sama sekali. Dengan inisiatif kepala sekolah, tentunya setelah rapat dengan para guru dan komite sekolah, menanami halaman sekolah dengan pepohonan yang rindang. Hanya disisakan beberapa ratus meter persegi untuk lapangan upacara. Hasilnya sungguh membanggakan. Sekarang lingkungan sekolah Cipan menjadi terasa sejuk. Bahkan waktu diadakan lomba lingkungan asri sekolahnya menang.
"Anto, peralatan siap?" tanya Hari, ketua tim pendakian pencinta alam sekolah.
"Siap. Hanya tinggal peta yang dibawa oleh Cipan."
"Di mana dia?"
"Sepertinya belum datang."
"Bagaimana, sih, dia? Sudah sejak tadi belum datang juga."
"Sabar, 'kan kebiasaan dia."
Hari teringat waktu Cipan datang terlambat ke sekolah di hari pertama tahun pelajaran yang lalu. Pintu gerbang sekolah sudah ditutup sebab ada upacara tahun ajaran baru. Kontan Cipan kebingungan. Lalu dia mencari ide agar bisa masuk ke halaman sekolah. Bila lewat depan sangat berbahaya. Bisa-bisa dia disuruh lari-lari keliling koridor dan teras kelas. Bisa malu dia. Maka, Cipan menelusuri persawahan yang ada di samping kiri, kanan, dan belakang sekolah. Dengan hati-hati, dia melangkah. Takut ketahuan. Pematang sawah yang becek tidak menyurutkan langkah Cipan. Dia berencana melewati pagar belakang sekolah yang ambruk karena tertimpa pohon kelapa saat hujan deras seminggu sebelumnya.
Sesampai di sana dia terkejut. Ternyata pagar tersebut sudah diperbaiki. Bebek-bebek yang berkeliaran di situ, sengaja mondar-mandir terus dekat Cipan. Seolah-olah mau meledek. Soalnya mereka tadi agak terganggu. Ketika asyik-asyik mencari makan di sawah, tiba-tiba disepak oleh Cipan waktu lewat di pematang. Dengan keki Cipan menyabit bebek-bebek tersebut dengan kaki.
Tidak jauh dari sana, dari ujung tembok, sepertinya yang punya bebek datang dengan tergesa-gesa. Tapi, Cipan kok seperti mengenalinya. Cipan menyipitkan mata agar orang itu dapat tampak lebih jelas.
Ternyata itu adalah guru konseling yang terkenal disiplin namun konyol dan adil. Sontak Cipan balik badan mau kabur.
"Waaaaaaaaa!!!!!" Cipan berteriak histeris. Ternyata, tepat di belakang Cipan menunggu satpam sekolah.
"Hayooo, mau ke mana?"
"Anu pak, kebelet nih. Mau ke kamar kecil. Kamar mandi di rumah saya rusak. Jadi, saya tadi langsung berangkat sekolah. Saya berencana memakai punya sekolah. Eh, tidak tahunya tadi, waktu berangkat seolah, bis-bis yang lewat pada penuh sehingga saya terlambat, pak!" ujar Cipan memelas panjang lebar tanpa jeda.
"Kenapa kamu tidak masuk melalui pintu gerbang?" tanya guru konseling yang baru datang terengah-engah.
"Anu pak, takut mengganggu upacara."
"Ah, ada saja alasan kamu. Ayo cepat ke guru piket."
Kebetulan upacara sudah selesai. Maka, Cipan, seperti maling ayam ketangkap polisi, digiring menuju ruang guru piket. Yang ditakutkan cipan terjadi. Dia disuruh berlari-lari mengelilingi koridor dan teras kelas. Bukan cuma itu, sesampainya di kelas pelajaran sudah dimulai. Cipan disuruh bernyanyi di muka kelas oleh bu guru, sebab dia terlambat masuk kelas. Wah, muka Cipan jadi merah padam menahan malu.
Hari, yang juga teman sekelas Cipan, menjadi geli mengingat kejadian itu.
"pagi-pagi kok ngelamun. Hati-hati, nanti kesambet, loh!" Tiba-tiba Hari dikejutkan oleh suara yang tidak asing baginya.
"Panjang umur kamu, Cipan. Baru tadi diomongin," kata Anto.
"Kenapa kamu lama sekali?" tanya Hari yang masih kesal.
"Ya maaf. Tadi aku bangun kesiangan. Tadi malam aku nonton 'pilem bagus di teve."
"Ya udah. Mana petanya?" tanya Anto.
"Ini petanya. Aku kemarin kelimpungan nyari di kantor perhutani, loh. Aku nanya ke kepala perhutani, eh enggak taunya yang nyimpan petugas arsip," ujar Cipan sambil menyerahkan peta Gunung Utara dengan bangga kepada Hari.
Setengah jam kemudian rombongan tim pencinta alam sekolah sudah terkumpul dan naik truk seluruhnya.Tim ini terdiri atas dua puluh orang. Sembilan anak kelas satu, tujuh anak kelas dua, tiga anak kelas tiga, dan satu guru pendamping. Yang menjadi guru pendamping kali ini adalah Pak Adi. Beliau sesungguhnya adalah guru seni rupa. Namun, beliau memiliki kegemaran mendaki gunung. Pak Adi tidak pernah absen dalam setiap pendakian pencinta alam sekolah cipan.
Pak Adi termasuk guru baru di sekolah Cipan. Pak Adi baru mengajar di sekolah Cipan waktu Cipan kelas satu. Cipan senang kepada guru ini. Selain karena pintar mengajar, juga karena pintar melucu di kelas. Pak Adi bisa menentukan kapan saat serius dan kapan saat santai. Nah, di waktu santai inilah Pak Adi mulai melucu.
Pernah suatu hari, "Saya punya kambing. Biasanya mencari rumput untuk kambing saya di lapangan dekat Rumah Sakit Kayati di Kaman, kadang di Berong, kadang di Ngajar."
Sontak teman-teman Cipan terheran-heran. Ketika tempat tersebut saling berjauhan. Jarak ketiganya sekitar sepuluh kilometer.
Bukan cuma itu. Saat di Rumah Sakit Kayati, beliau memergoki dua pasang bocah berseragam sekolah Cipan pacaran di bawah pohon dekat lapangan waktu Pak Adi asyik-asyik menyabit rumput. Pak Adi tidak langsung menegur, tapi justru mengeluarkan ponsel kamera miliknya.
Keesokan harinya, kedua bocah tersebut di panggil guru konseling. Bersama guru konseling, Pak Adi menunjukkan kepada keduanya hasil temuannya. "Ini siapa, hayoo?," kata Pak Adi mengulang ucapannya kepada dua bocah itu.
Kejadian tersebut juga terjadi di kedua tempat mencari rumput yang lain. Ternyata, selain ketiga tempat tersebut, Pak Adi juga mencari rumput di lokasi lain.
"Berhati-hatilah bila bermesraan di tempat umum. Jangan-jangan di belakang kamu ada Pak Adi dengan ponsel kameranya," kata Anto bak khatib kepada Cipan, teman sebangkunya. Cipan hanya merenges mendengar Anto.
***
Jalan menuju Gunung Utara naik turun, sempit, dan berkelok-kelok. Jalan itu cukup sulit dengan banyak lubang menganga yang siap menghadang. Hanya pengemudi handal dan berpengalaman yang mampu melewati jalanan ini. Jurang yang curam dan tebing berbatu di sebelah kanan memberi peringatan kepada pengemudi untuk selalu berhati-hati. Beberapa kali truk yang mengangkut rombongan tim pencinta alam berhenti untuk memberi kesempatan kendaraan dari arah berlawanan untuk lewat.
"Jangan dorong-dorong, dong!" keluh Ari, anak kelas dua.
"Maaf kak. Jalannya berkelok-kelok, sih!" kata Jaya, anak kelas satu.
"Aduh! Kakiku keinjek, nih!" keluh Anto.
Cipan, Hari, dan Anto adalah satu-satunya, eh maksudnya tiga-tiganya anak kelas tiga rombongan ini. Mereka pertama kali bertemu waktu Pra-MOS sekolah.
Kakak-kakak OSIS waktu Pra-MOS luar biasa galak. Bahkan lebih galak dari kucing yang keinjak ekornya. Cipan waktu itu tidak membawa apapun yang disuruh bawa buat Pra-MOS. Bukan karena bandel. Cipan sama sekali tidak tahu bila harus bawa banyak barang di hari Pra-MOS. Walhasil, Cipan menjadi bulan-bulanan bentakan kakak-kakak dari keempat penjuru mata angin di kelas. Untung saja kuping Cipan tidak sampai budek, walaupun sedikit berdenging. Setelah puas dibentak-bentak, Cipan disuruh keluar menuju suatu ruangan di pojok ujung koridor belakang.
Di sana Cipan bertemu dengan Hari dan Anto yang juga tidak membawa apa-apa. Mereka dibentak-bentak lagi dengan kecepatan suara yang sulit diukur dengan stop-watch sekalipun. Cipan sendiri tidak tahu, kakak memakai Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Jerman, atau bahasa sms. Sejak saat itu, karena merasa senasib sepenanggungan, Cipan, Hari, dan Anto menjadi teman akrab. Ke mana-mana selalu bersama. Tidak jarang mereka dianggap kakak-beradik oleh orang baru kenal mereka.
***
Memasuki kawasan Gunung Utara, udara dingin langsung menyergap. Padahal matahari sudah bersinar dengan penuh semangat. Namun masih kalah dengan kabut tipis yang masih menyelimuti Desa Suluh, desa terdekat dari Gunung Utara sisi selatan. Setelah satu jam perjalanan yang melelahkan, rombongan pencinta alam sekolah Cipan sudah sampai di Desa Suluh. Mereka bersiap menurunkan peralatan pendakian.
Pemandangan di desa ini sangat indah dengan deretan pegunungan yang tampak jauh di selatan. Perkebunan teh di sekeliling desa tampak menghampar hijau laksana permadani dibelah oleh sungai beriak jernih di sisi barat desa. Di utara tampak Gunung Utara berdiri dengan gagah. Sungguh mengagumkan ciptaan Tuhan.
"Sudah kagum-kagumnya. Kaya' enggak pernah pemandangan kaya' begini saja. Cepat bantu nurunin kompor gas ini!" ujar Hari kepada Cipan dari atas bak truk.
"Kamu nggangu aja, deh!"
Di Desa Suluh sudah ada dua rombongan pencinta alam dari perguruan tinggi, yaitu Mahasiswa pencinta Alam Universitas Prabaswara, disingkat Membara, dan Mahasiswa pencinta Alam Universitas Sanaloka, disingkat Perasa, hihi lucu juga singkatannya. Mereka juga akan membuka jalur baru dari arah selatan gunung bersama pencinta alam sekolah Cipan. Ketiga rombongan ini membuat pos pengawas di salah satu rumah warga Desa Suluh sebagai pusat komunikasi dan koordinasi pendakian.
Setelah selesai menurunkan peralatan pendakian, Cipan dan teman-teman sekolahnya berkumpul di pelataran pos pengawas bersama dengan rombongan lain. Mereka berdoa dipimpin oleh Kak Hasan dari Membara.
"Kita akan membuka jalur baru. Diharapkan jalur ini akan mempermudah kita mencapai puncak Gunung Utara tanpa harus memutar ke sisi barat, timur, apalagi sisi utara gunung. Berhati-hatilah, jalur ini belum pernah dilalui oleh pendaki. Ada kemungkinan masih banyak tempat berbahaya di jalur yang akan kita lalui," ujar Kak Hasan kepada seluruh anggota rombongan.
***
Empat jam sejak rombongan Cipan sampai di Desa Suluh.
"Hari, gantian, dong, bawa kompor ini," keluh Cipan. Cipan mendapat bagian membawa kompor, tali temali, dan pasak.
"Aku 'kan pemimpin rombongan. Lagi pula, aku yang bawa peta dan kompas. Bila aku juga bawa kompor, nanti kesasar, loh!"
"Kenapa, sih, kita lewat sini?" tanya Anto kepada Hari sembari melihat jurang di kiri mereka. Memang ketiga rombongan pendakian berpencar ketiga arah untuk menemukan jalur pendakian yang berbeda.
"Tadi, kata Kak Hasan, jalur ini adalah jalu tercepat menuju puncak gunung."
"Hari. Kamu tanya Kak Hasan, betul apa tidak jalur kita," kata Cipan.
Hari lalu menghubungi Kak Hasan melalui handy-talky. Jalur yang mereka lalui tampak tidak bersahabat. Jalannya sempit dengan jurang mengangah di sebelah kiri dan tebing cadas di sebelah kanan.
"Sepertinya kalian tersesat sejauh satu derajat sejak tiga jam yang lalu. Coba kalian kembali ke posisi awal. Seharusnya tidak ada jurang di sisi kalian," penjelasan Kak Hasan.
"Ya, 'kan. Ternyata kita sia-sia tiga jam ini," keluh Cipan.
"Eh, ini bukan salah aku. Ini 'kan kompas kamu," Hari membela diri.
"Ayo, kita kembali!" saran Anto.
"Adik-adik, ternyata kita tersesat. Mari kita kembali ke posisi awal kita," kata Hari kepada anggota rombongan. Adik-adik protes setelah mendengar itu. Namun, Pak Adi berhasil menenangkan mereka.
"Hari, kenapa kita tersesat?" tanya Pak Adi.
"Maaf pak. Kompas yang saya bawa rusak."
"Kalau begitu, gunakan saja kompas milikku," kata Pak Adi.
Rombongan Cipan lalu kembali menuju posisi awal keberangkatan mereka di Desa Suluh.
Sepanjang perjalanan, Hari tidak henti-hentinya menyalahkan Cipan.
"ini salah kamu. Seharusnya kamu bilang kalau kompas kamu rusak."
"Mana aku tahu kalau kompas itu rusak! Kompas itu 'kan kamu bawa sejak kemarin! Seharusnya kamu yang memeriksa bila kompas itu rusak!" Cipan tersinggung.
"Tapi, seharusnya kamu bilang sebelumnya!"
"Sudah-sudah. Cipan betul-betul tidak tahu kalau kompas itu rusak. Cipan 'kan belum pernah membawa kompas itu untuk pendakian," Anto menengahi.
"Betul kata Anto. Seharusnya kita tidak saling menyalahkan di saat seperti ini," kata Pak Adi.
"Biar aku saja yang bawa peta dan kompas! Kamu bawa kompor saja!" kata Cipan dengan kesal.
"oke! Tapi awas bila sampai kesasar!" ancam Hari.
Tiba-tiba, "Aaaaaaaaaaaaa!!!!!"
Hari tidak sengaja menginjak batu yang labil. Tubuhnya jatuh terhempas ke jurang. Tubuh Hari beberapa kali membentur dinding jurang dan menerjang akar-akar pohon sebelum akhirnya jatuh di tanah gembur di dasar jurang.
***
Sudah satu hari sejak Hari jatuh ke dasar jurang. Rombongan Cipan sudah kembali ke pos Desa Suluh dengan bantuan kompas Pak Adi dan peta Gunung Utara sejak kemarin. Mereka tidak langsung mencari Hari sebab peralatan mereka tidak mencukupi untuk melakukan penyelamatan.
Seluruh anak kelas satu dan anak kelas dua sudah pulang seluruhnya. Mereka pulang menumpang truk setelah melaporkan jatuhnya Hari ke pos Desa Suluh. Yang tinggal hanya Cipan, Anto, dan Pak Adi di pos Desa suluh.
"Seharusnya aku memegang dia. Aku 'kan berada berada paling dekat dengan dia," ucap Cipan sedih.
"ini bukan salah kamu," kata Pak Adi,"Mari kita tunggu tim SAR."
Tim SAR, Membara, dan Perasa yang tengah mencari Hari kembali tanpa hasil. Medan terlalu berat untuk dilalui, walaupun dua hari ini tidak turun hujan. Besok tim SAR berencana menggunakan helikopter untuk mencari.
***
Keesokan harinya.
Cuaca cerah. Matahari bersinar dengan teriknya.
Keadaan Hari jauh dari baik. Benturan keras menyebabkan kakinya patah. Tangannya terkilir waktu berusaha menggapai celah di dinding tebing. Untung saja akar-akar pohon berhasil menahan laju jatuh Hari, walaupun menyebabkan luka parah di tubuhnya.
Hari sudah sadar dari pingsan. Beberapa kali helikopter berputar-putar di atas Hari. Hari sudah berkali-kali berteriak minta tolong tapi tidak terdengar. Helikopter lalu menjauh. Hari hampir putus asa.
"Sssssttt, Hari ka..sst..pa sst...dengar ssttt...ku?" Suara itu mengejutkan Hari.
Hari mencari-cari asal suara itu. Tak jauh darinya, Hari melihat handy-talky yang ia bawa. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Hari meraihnya dengan menahan rasa sakit yang amat sangat.
"Halo, h-halo. Di s-sini Hari. Aku m-masih h-hidup," kata Hari terpatah-patah.
"Syu...ssst ka...ssstt...sih sst...dup. Ak..ssst Cipan. Ak...ssst...ru ingat kalau sst...mu sst...sih sstt...wa han...ssstt...talky."
Tebing yang tinggi dan pepohonan lebat yang mengepung Hari mengganggu transmisi radionya.
"Cipan, a-aku minta m-maaf. Aku yang s-salah. Aku t-terlalu m-menyalahkan k-kamu," penyesalan Hari.
"Ng...ssst ap...ssst...pa, ak...sssttt...lah ssst...maafkan ssst...mu. Bag...ssst ke...sst...daanmu?"
"Kaki k-kananku t-tak b-bisa d-digerakkan. Ta-angan kk-iriku t-terkilir. Bad-danku s-sakit s-semua."
"Berta...ssst Hari. Di sst...na sst...sisi ssst...mu?"
"Tak j-jauh d-dari t-tempat ak-ku j-jatuh."
***
Tiga puluh menit kemudian.
"Bertahanlah Hari," batin Cipan.
Cipan dan Anto bersikeras ikut helikopter pencari walaupun dilarang oleh Pak Adi. Namun, mereka terus mendesak.
"Hari, di mana kamu?" tanya Cipan kepada Hari melalui handy-talky.
"Di b-bawah kam-mu!" Posisisi Hari yang semakin dekat membuat transmisi radio membaik.
Kami tidak dapat melihatmu! Coba kamu membuat tanda di mana posisi kamu!" ucap Anto.
Hari melihat ke sekeliling, mencari sesuatu sebagai tanda yang dapat terlihat dari angkasa. Lalu dia melihat tumpukan daun dan kompor yang sebelumnya di bawa oleh Cipan tak jauh darinya. Hari dapat meraihnya. Beruntung Hari. Kompor tersebut tidak menjatuhinya dan tidak meledak ataupun bocor waktu sampai di dasar jurang. Walau dalam keadaan rusak parah, tapi masih bisa digunakan. Hari menyalakan kompor tersebut. Kemudian meraih dahan kering di dekatnya lalu membakarnya. Hari melemparkan dahan tersebut ke tumpukan daun kering. Tumpukan itu terbakar dan mengeluarkan asap yang yang membumbung tinggi.
"Di sana!" teriak Anto.
Helikopter melayang beberapa belas meter tepat di atas Hari. Dua orang penyelamat melompat dari atas helikopter menggunakan tali untuk menyelamatkan Hari.
"Akhirnya kamu selamat, Hari," ucap Cipan dan Anto saat Hari sudah berada di atas helikopter yang menuju Rumah Sakit Kayati.
"Ini berkat kamu, Cipan."

Bayu Aditya H
Klemunan & Kesamben, 12-16 Februari 2009
Catatan: Cerpen ini adalah cerpen yang aku kumpulkan untuk tugas Bahasa Indonesia semester II
dari Pak Hari Wahyudi kelas XII, SMA Negeri 1 Kesamben, 2008-2009.

Tidak ada komentar: